- 1- Disyaratkannya wali pada sahnya pernikahan. Dinukil dari Ibnul-Munzir bahwa tidak diketahui ada seorang sahabat pun yang menyelisihi hal itu.
- 2- Pada pernikahan yang tidak sah, seorang wanita tetap berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan senggama si laki-laki padanya.
- 3- Penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali, baik karena walinya benar-benar tidak ada atau karena wali tidak mau menikahkannya.
- 4- Penguasa dihitung sebagai wali bagi orang yang tidak memiliki wali pada saat kondisi wali tidak ada atau berhalangan. Hakim menggantikan posisi penguasa karena merupakan kepanjangan tangannya dalam permasalahan-permasalahan ini.
- 5- Perwalian dalam menikahkan perempuan tidak berarti ia tidak memiliki hak. Bahkan, ia memiliki hak dan tidak boleh bagi walinya untuk menikahkannya kecuali dengan seizinnya.
- 6- Syarat-syarat pernikahan yang sah:
- Pertama: Penentuan masing-masing dari suami istri dengan menggunakan isyarat, nama, sifat dan semisalnya.
- Kedua: Rida dari masing-masing suami istri terhadap yang lain.
- Ketiga: Akad untuk seorang wanita dilakukan oleh walinya.
- Keempat: Persaksian atas akad nikah.
- 7- Disyaratkan pada wali yang melakukan akad nikah:
- Pertama: Akal
- Kedua: Laki-laki
- Ketiga: Balig, yaitu dengan genap 15 tahun atau mimpi basah.
- Keempat: Kesamaan agama; sehingga tidak ada hak perwalian bagi seorang kafir atas seorang muslim atau muslimah. Demikian pula tidak ada hak perwalian bagi seorang muslim atas orang yang kafir, laki-laki dan perempuan.
- Kelima: Alim, yaitu kebalikan fasik. Cukup dalam hal kealiman bila ia melakukan penelaahan tentang maslahat perempuan yang ia pegang urusan penikahannya.
- Keenam: Wali adalah seorang yang berakal dewasa, tidak rusak akal. Yaitu ia memiliki kemampuan untuk mengetahui kekufuan dan maslahat pernikahan.
- 8- Wali perempuan dalam penikahan memiliki urutan di kalangan ulama, sehingga tidak boleh mengambil hak wali yang lebih dekat kecuali ketika ia tidak diketahui keberadaannya atau tidak memenuhi syarat. Wali seorang perempuan yaitu ayahnya, kemudian orang yang diberi wasiat oleh ayahnya untuk mengurusinya, kemudian kakeknya dari jalur ayah dan seterusnya ke atas, kemudian anak laki-lakinya, kemudian anak laki-laki dari anak laki-lakinya dan seterusnya ke bawah, kemudian saudara laki-lakinya yang seayah dan seibu, kemudian saudara laki-lakinya yang seayah, kemudian anak laki-laki dari kedua saudaranya itu, kemudian pamannya dari jalur ayah yang seayah dan seibu, kemudian pamannya dari jalur ayah yang seayah, kemudian anak laki-laki dari kedua pamannya itu, demikian seterusnya secara berurutan dari yang paling dekat secara nasab dari kelompok 'aṣabah sebagaimana dalam ilmu waris. Adapun penguasa muslim dan yang mewakilinya seperti hakim adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.